Oleh Marselino Pigai
Artikel, AWIPA-MKW I Dalam tulisan ini mencoba melihat dan menganalisis dinamika dan gelombang pemekaran daerah yang terjadi secara terencana oleh karena kepentingan yang sesungguhnya dimimpikan oleh penguasa pemerintah pusat (Jakarta) yang dalam momen ini dimanfaatkan oleh penguasa lokal yang senantiasa dihadapi dan nikmat imbasnya kepada rakyat Papua (rakyat jelata). Data yang dianalisis berdasarkan data sekunder yang diinput dari berbagai referensi baik media buku, media internet, dokumen artikel, media sosial serta observasi yang diinterpretasikan secara analisis kualitatif deskriptif mengenai pemekaran daerah terutama Pemekaran Provinsi yang mulai dari waktu belakangan ini menuai protes tetapi juga ada pihak tertentu yang mempro kehadiran provinsi menjadi beberapa bagian dari provinsi Papua.
Isu pemekaran yang berpolemik didalam dunia maya pada situasi terkini di Tanah Papua sesungguhnya Sudah terbangun pemahaman Fragmen-Fragmen daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang dimulai oleh kesimpulan kajian strategi pembangunan di tanah Papua yang diriset oleh dapartemen dalam negeri pada tahun 1884. Hasil riset menunjukkan tanah Papua berpotensi kelayakan melahirkan embrio provinsi yang terdiri dari beberapa provinsi tetapi terkendala dengan finansial Pemerintah Indonesia yang tidak memadai maka tak terwujud dilanjutkan.
Akan tetapi berjalan waktu, tepat pada periode tahun 1999 muncul gula-gula pemekaran setelah kejatuhan rezim orde baru yang kemudian menciptakan sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis. Dalam keadaan itu muncullah peta-petakan berdasarkan pandangan Jakarta (pemerintah pusat) memekarkan dari provinsi Papua menjadi dua Provinsi yakni provinsi irian jaya tengah dan irian jaya barat serta beberapa kabupaten mulai dari kabupaten Paniai, mimika dan puncak jaya dan kota Sorong. Hal itu ditandai dengan UU No.45/99 tentang pemekaran irian jaya (sekarang Papua). Kebijakan ini, sekaligus diikuti dengan penunjukan Dr. Herman Munim sebagai gubernur Irian Jaya tengah dan Brigjen.Mar (pensiun TNI) Abraham Artaruri sebagai gubernur Irian Jaya Barat berdasarkan KEPPRES RI No 327/M/1999, tanggal 5 Oktober.
Namun kebijakan tersebut diperhadapkan dengan penolakan serius oleh seluruh komponen rakyat Papua saat itu. Penolakan tersebut ditanggapi DPRD Provinsi Irian Jaya dan dilahirkan keputusan DPRD No.11/DPRD/1999 yang dimana secara langsung dan resmi menyatakan pendapat penolakan sekaligus usulan pencabutan surat keputusan Presiden yang dikeluarkan sebelumnya (lih penjelasan pragraf sebelumnya). Fundamental argumen rakyat Papua yang kontra pemekaran tersebut adalah paling tidak memiliki dua poin yakni tidak adanya keterlibatan rakyat Papua dalam wacana pemekaran tersebut dan peredam suhu Papua merdeka yang digaungkan serta didorong secara akar rumput rakyat Papua saat itu. Namun dibalik itu dengan tawaran alternatif, isu tuntutan kemerdekaan Rakyat Papua direspon dengan gula-gula otonomi khusus melalui tim 100 yang saat itu diwakili. Akan tetapi pemekaran daerah tidak dihapuskan tetapi "ditunda" saat itu.
Penundaan pemekaran daerah dilanjutkan oleh presiden Megawati Soekarnoputri melalui INPRES No.1/2003 untuk dilakukan keberlanjutan Pemekaran daerah melalui menteri terkait serta seluruh struktural pemerintahan pada saat itu. Melihat kondisi demikian, adapun muncul tim 315 dalam suhu Pemekaran daerah. Maka Jakarta mengiyakan serta melegitimasi tim ini sebagai representasi vote of Papuans sekalipun mereka tidak dilahirkan melalui forum musyawarah Akbar sebagaimana untuk perwujudan implementasi demokrasi rakyat Papua ataupun kelaziman hidup berrakyat Papua. Pada puncaknya dorong dari tokoh yang mengatasnamakan berhasil melahirkan beberapa kabupaten hingga kemudian berpotensi juga secara tidak langsung mendukung pemekaran daerah provinsi lainnya di tanah Papua. Hal itu dikaca dari sudut pandang kriteria administratif pembentukan sebuah daerah.
Rentetan gula-gula pemekaran di antero tanah Papua yang mengalami kebanjiran adalah berlangsung pada tahun 2008. Provinsi Papua barat yang ibu kotanya berkedudukan di Manokwari adalah salah satu hasil pemekaran daerah termasuk kabupaten Maybrat, kabupaten Kaimana, kabupaten Deiyai, Kabupaten Intan Jaya, kabupaten Dogiyai, kabupaten Puncak, kabupaten mambramo tengah, kabupaten Nduga, kabupaten Lanny Jaya bahkan banyak kabupaten lainnya. Selain itu Pemekaran-pemekaran daerah kabupaten tingkat distrik hingga sampai kampung-kampung terjadi secara tiba-tiba tanpa ada konsolidasi serta sosialisasi pada rakyat dalam beberapa daerah di pegunungan tengah Papua termasuk dalam wilayah geografis kabupaten Paniai.
Sementara berlanjut pada tahun 2019, kembali bangkit lagi isu pemekaran provinsi melalui tim 61 orang yang mengatasnamakan tokoh asli rakyat Papua yang diundang Jakarta. Mereka (61 orang) mengangkat pemekaran provinsi-provinsi dari Papua di antaranya Provinsi Papua Tengah yang berposisi di wilayah adat meepago, juga provinsi Papua Barat Daya. Kemudian berlanjut pada tahun 2021 timbul juga isu Pemekaran provinsi Papua Selatan yang secara geografis menduduki di wilayah adat Anim ha. Serta Pemekaran provinsi pegunungan Papua yang melingkupi wilayah adat lapago.
Analisis Terhadap Pemekaran
Rentetan gula-gula pemekaran daerah adalah sebuah strategi pemerintah Indonesia oleh penguasa yang dilakukan secara terencana, terkoneksi, terkoordinasi dan terpadu secara sistematis antara pengusaha lokal (elite Papua) tertentu dan penguasa pusat (Jakarta) semenjak periode order baru hingga periode presiden Jokowi dewasa ini. Ironisnya isu Pemekaran, penguasa pusat mendorong melalui penguasa lokal pada setiap momentum yang rakyat Papua berada dalam tuntutan penentuan nasib sendiri baik yang terjadi pada tahun 1999 yang kemudian digantikan dengan otonomi khusus Papua maupun isu rasisme yang membangkitkan semangat rakyat Papua menentang penguasa, yang berpotensi melepaskan diri dari NKRI. Bahkan berlanjut pada beberapa tahun terakhir yang bertepatan dengan penghabisan masa kebijakan otonomi khusus Papua ditawarkan penguasa untuk tatap dilanjutkan Otsus, serta mendorong Pemekaran daerah provinsi-provinsi.
Kemunculan isu Pemekaran provinsi belakang ini, penulis menduga keras bahwa cipta kondisi penguasa pusat dan penguasa lokal tertentu dalam upaya pengalian isu rakyat Papua yang menolak otonomi khusus Papua yang terakomodir dalam petisi rakyat Papua menolak Otsus jilid II dan meminta penentuan nasib sendiri. Keadaan itu diciptakan melalui personal tertentu ataupun penguasaan lokal kolektif tertentu yang mengatasnamakan rakyat Papua bahkan tokoh-tokoh yang mencoba merepresentasikan seolah-olah Aspira rakyat Papua, misalnya 61 orang yang diundang Jakarta tahun 2019 bahkan penguasa lokal melalui asosiasi Bupati meepago, lapago termasuk Anim ha serta Papua barat daya.
Dugaan itu tidak terlepas dari pustaka terhadap data empiris mengenai pemekaran daerah yang terjadi sebelumnya terutama pada masa sipil society of Papuans menuntut hak menentukan nasibnya sendiri tanpa kontrol dibawah bingkai NKRI. Pemerintah pusat (penguasa) menawarkan gula-gula pemekaran yang kemudian ditanggapi dan menerima adalah sekelompok orang yang diundang tanpa diutus oleh rakyat melalui putusan musyawarah Akbar untuk menyatukan antara pro dan kontra mengenai pemekaran daerah. Dalam forum inilah yang sesungguhnya melegitimasi kepada representatif rakyat Papua untuk menyampaikan aspirasi kepada penguasa pusat. Bahkan dalam forum ini juga yang mencerminkan eksesi aspirasi rakyat Papua yang diakomodir dari berbagai pihak baik lembaga adat, pemuda/i, kepada suku, agama bahkan lainnya. Akan tetapi semua wacana pemekaran daerah selalu ditonjolkan oleh penguasa pusat tanpa koordinasi dan sosialisasi kepada rakyat Papua bukan penguasa lokal Papua. Ironisnya lagi pemerintah memekarkan daerah provinsi dalam situasi rakyat beracu-takacu senantiasa diambil kesempatan oleh penguasa. Salah satu tokoh Papua, Geoge Saa dengan transparan menyampaikan pertanyaan kritis terhadap penguasa, "Kenapa di tengah situasi di Papua yang sedang berkonflik di mana-mana? Ini terkesannya yang mau didorong dan dipaksakan secara sepihak." (BBC news, 11 November 2019)
Pro dan Kontra Perencanaan Pemekaran
Penulis mencoba melihat kepentingan dalam isu pemekaran provinsi yang berpolemik ini dari dua pihak yakni kepentingan rakyat Papua dan Kepentingan Penguasa (elite Papua dan Jakarta). Mengapa penulis menyatukan penguasa lokal dan pusat sementara rakyat tersendiri? Situasi ini Karl Marx membedakan menjadi kelas yang menguasai dan kelas yang dikuasainya. Sehingga kalau diinterpretasikan pada konteks pemekaran provinsi di Papua maka rakyat Papua adalah kelas yang dikuasai oleh kelas penguasa (elite lokal Papua tertentu dan elite Jakarta). Dalam kelas ini menjumpai kepentingan yang berbeda-beda sekalipun dipadukan dibawah naungan negara.
Penguasa daerah maupun pusat mendorong Pemekaran provinsi-provinsi di tanah Papua yang memanas di antero tanah Papua adalah dengan bahasa kepentingan rakyat yang membutuhkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan yang disampaikan oleh penguasa yang mendorong pemekaran-pemekaran provinsi di tanah Papua. Bahkan dikelaim bahwa pemekaran daerah adalah aspirasi rakyat Papua daerah yang dimekarkan. Sekalipun tidak ada kajian jelas, komplit serta komprehensif mengenai keadaan daerah yang dimekarkan, misalnya daerah Pemekaran provinsi wilayah adat lapago. Bahkan daerah pemekaran provinsi Papua tengah yang dikelaim telah melakukan kajian Pemekaran provinsi melalui kerja sama universitas Gadjah Mada, sekalipun sama sekali rakyat tak pernah dilibatkan sebagai sampel penelitian selaku pemilik hak Ulayat daerah pemekaran provinsi tersebut.
Sebagaimana dirilis dalam BBC news bahwa rencana pemekaran itu diungkapkan Mahfud MD selaku menkopolhukam seusai menggelar rapat bersama Ketua MPR Bambang Soesatyo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta perwakilan TNI-Polri di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Jumat (11/09/2020). Menurut Mahfud MD, pemekaran wilayah di Papua menjadi lima provinsi adalah "amanat dari undang-undang" 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Bahkan diimbuhi oleh ketua MPR RI bahwa "Isu soal pemekaran wilayah yang telah menjadi amanat UU 21 tahun 2001 jadi lima wilayah nanti. Ini tujuannya adalah untuk lebih fokus menyejahterakan rakyat Papua, karena Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia," kata Bambang Soesatyo.
Pada realitasnya, rakyat Papua khususnya daerah pemekaran telah menolaknya dengan pelbagai macam protes terhadap wacana pemekaran provinsi yang telah dibahas secara sepihak oleh penguasa Jakarta, tanpa melibatkan rakyat Papua bahkan MRP dan DPRP sesuai amanat otsus. Bahakan merespon pembahasan perencanaan provinsi di Papua telah pelbagai elemen rakyat mengkotra. Misalnya, mahasiswa meepago bersama seluruh lapisan rakyat menolak Pemekaran provinsi Papua tengah sekitar tahun 2018, muncul juga suara mahasiswa mimika dari berbagai negara Indonesia, Australia, Selandia baru menolaknya melalui daring yang berlangsung pada tanggal 2 Februari 2021, solidaritas mahasiswa lapago menolak dengan tegas atas pemekaran provinsi pegunungan Papua pada tanggal 8 Februari 2021, penolakan muncul juga dari solidaritas mahasiswa meepago melalui mimbar bebas di Jayapura. Bahakan datang juga suara penolakan dari ikatan mahasiswa pegunungan tengah di Manokwari melalui mimbar bebas yang digelar. Lagi-lagi muncul suara penolakan dari seluruh akar rambut rakyat Dogiyai bersama dewan perwakilan daerah. Suara penolakan tidak hanya di situ tapi menuai suara penolakan bergaung sampai di tingkat provinsi mulai dari gubernur provinsi Papua yang disampaikan, tetapi juga muncul suara penolakan dari majelis rakyat Papua (MPR) bahkan lainnya. Pada akhirnya penolakan Pemekaran provinsi juga disampaikan gubernur Papua dengan nada "rakyat Papua tidak membutuhkan Pemekaran di tanah Papua. Untuk itu, saya menolak seluruh usulan daerah otonomi baru,"
Seorang Dosen ilmu pemerintahan di Uncen, Diego Romario de Frotes menyampaikan melalui media BBC news bahwa Ia mengatakan pendirian sebuah wilayah provinsi baru akan diikuti dengan pembangunan markas-markas militer juga kantor-kantor kepolisian dan itu meresahkan masyarakat, yang disebut Diego trauma dengan pelanggaran HAM. "Menurut masyarakat yang saya temui, mereka takut, mereka ada di bayang-bayang militer." Hal itu tidak terlepas juga melihat berdasarkan realitas konflik di Nduga, Intan Jaya bahkan konflik agraria yang dipicu Kapitalisasi tanah adat oleh adanya izin usaha pemerintah setempat serta marjinalisasi kepada rakyat Papua selaku pemilik tanah adat. Semua itu menjurus kepada kematian atau pemusnahan terhadap rakyat Papua yang tak berdosa. Sekalipun penguasa menawarkan rakyat dengan bahasa kesejahteraan dan pemerataan pembangunan atau mungkin penguasa lokal menanggapi mengingat dibalik pemekaran yang akan mengantar menjadi elite Papua. Tetapi pada akhirnya rakyat kecil juga menjadi bagian objek pembangunan yang diabaikan dengan tingkah laku korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah meradikal dalam penerapan sistem pemerintahan hingga kita rakyat masih saja menderita di atas tanahnya sendiri.
Kepentingan dibalik Pemekaran
Berdasarkan uraian panjang sebelumnya menarik sebuah benang merah yang menghubungkan motif kepentingan penguasa dan rakyat melalui bahasa kesejahteraan bagi rakyat Papua dan keadilan/Pemerataan pembangunan. Bahasa kesejahteraan selalu dilontarkan penguasa setiap perencanaan Pemekaran daerah diwacanakan mulai semenjak Papua dianeksasi ke dalam bingkai NKRI. Akan tetapi pertanyaannya adalah bagaimana kesungguhan kerja penguasa dalam menciptakan kondisi rakyat Papua sejahtera dan pemerataan pembangunan semenjak Papua digabungkan di bawah bingkai NKRI? Namun ironisnya, data statistik menunjukkan bahwa presentasi indeks pembangunan manusia yang paling rendah adalah provinsi Papua dan Papua barat. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan dan pemerataan pembangunan adalah bahasa gula-gula yang penguasa (elite Papua tertentu maupun pusat) Indonesia meyakinkan publik karena menggunakan kewibawaan Negara.
Dengan demikian, diduga kuat bahwa perencanaan pemekaran daerah adalah sebagai langkah strategis penguasa pusat menguasai seluruh sumber daya alam melalui Pasca amandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Ironisnya melalui ayat ini rakyat Papua dihadapkan pada konflik agraria. Sampai-sampai tahun terakhir dalam penjelasan dari lembaga econusa dan Greenpeace merilis bahwa sudah 10 juta hektar lebih yang dioperasikan oleh perusahaan di lingkungan tanah adat rakyat hingga salah satu kampung di Merauke mengalami penyingkiran atau pengungsian karena operasi perusahaan asing. Sehingga esensinya bahwa pemekaran daerah adalah adanya kepentingan penguasa dan Kapitalis atas sumberdaya alam Papua sementara rakyat Papua tetap miskin di atas tanahnya sendiri. Sekalipun dalam amanah UUD mewajibkan negara melalui penguasa wajib menciptakan kehidupan rakyat yang sejahtera. Tetapi menggunakan kewajiban negara itu untuk melaksanakan demi akumulasi kepentingan penguasa pusat dan Kapitalis.
Menurut perspektif Karl Marx, Negara merupakan bangunan atas, yakni alat pelaksana ide, alat sesuatu klas yang berkuasa untuk menindas dan menguasai kelas lain, guna mempertahankan dan melindungi kepentingan dan kekuasaan kelas yang berkuasa (max, 2012:83). Maka konteks politik, penguasa baik pusat maupun lokal berkepentingan membagi dan mempertahankan kekuasaannya di daerah pemekaran provinsi dengan atas nama kewibawaan Negara yang melaksanakan kewajiban negara mensejahterakan rakyat. Kombinasi dengan data empiris dan eksistensi daerah Papua di dalam NKRI bahwasanya kesejahteraan dan pemerataan pembangunan merupakan alat meluncurkan ide pemekaran daerah oleh penguasa pusat supaya tanah Papua berada di dalam bingkai NKRI. Pemekaran provinsi datang bukan dari rakyat melainkan diproduksi melalui ide penguasa pusat yang datang tanpa mengindahkan pendapat rakyat Papua. Sehingga pemekaran adalah strategi penguasa pusat meninabobokan penguasa lokal (elite Papua) melalui pendistribusian kekuasaan dan wewenang untuk digunakan elite Papua dalam menjaga keutuhan NKRI di tanah Papua. Seperti juga Ngurah Suryawan secara utuh dan komprehensif diuraikan dalam kajian disertasi buku siasat elite mencuri kuasa.
Menurut kombinasi buku dan pandangan max bahwa penguasa lokal (elite yang mendorong pemekaran-pemekaran) adalah alat pelaksana ide Pemekaran yang didesain penguasa pusat. Sementara satu kutipan dalam bukunya Suryawan, "para elite Papua ini di dalam posisi digantung oleh kekuasaan negara. Mereka (para elite Papua) memang mempunyai kekuasaan di daerahnya masing-masing namun terikat dengan peraturan yang dibuat oleh Negara untuk mengontrol kekuasaan tersebut". Penguasa lokal memang terikat dengan peraturan yang tidak memberikan kebebasan mengatur sesuai mengikuti amanah undang-undang Otsus Papua no 21 tahun 2001. Setiap usulan peraturan khusus daerah kabupaten maupun provinsi senantiasa ditolak oleh penguasa pusat sebagaimana dengan transparan disampaikan gubernur provinsi Papua dalam hal ini Lukas Enembe.
Bahkan termasuk ide pemekaran yang diproduk Penguasa pusat pun sangat bertentangan dengan amanah UU no 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua yang ditegaskan dalam pasal 76 mengenai pemekaran daerah di Papua harus dilahirkan oleh rakyat Papua. Hal itu didukung juga dengan peraturan pemerintah mengenai pemekaran daerah baik penyatuan dua daerah menjadi satu Ataupun sebaliknya. Tetapi Pemekaran yang datang sementara ini adalah bukan dari rakyat Papua tetapi hoknum tertentu yang diduga ada udang di balik batu. Hoknum itu yang telah dirilis sebelumnya yakni 61 orang yang diundang penguasa pusat, bahkan mengatasnamakan asosiasi-asosi bupati dengan atas nama aspirasi rakyat Papua. Sesungguhnya mereka adalah hoknum yang tidak menutup kemungkinan dilepaskan dari kursi sofa kekuasaan-kekuasaan sehingga mereka sedang meraba-raba kekuasaan yang dapat memberikan ruang lagi. Maka mereka menangkap dan mengatasnamakan kepentingan rakyat melalui perencanaan pemekaran-pemekaran penguasa pusat yang ditawarkan. Sekalipun pada kenyataannya rakyat Papua hingga sampai gubernur provinsi ditolak rencana Pemekaran daerah yang didesain penguasa pusat.
Kesimpulan
Pada akhirnya, pemekaran daerah otonomi baru adalah ide penguasa pusat (Jakarta) yang didesain untuk mempertahankan kekuasaannya di tanah Papua. Pemekaran sebagai alat serta strategi penguasa untuk tetap menjaga keutuhan NKRI di tanah Papua dengan bahasa kesejahteraan dan pembangunan. Sementara itu direspon penguasa lokal (elite Papua tertentu) untuk melaksanakan misi penguasa pusat melalui bahasa kesejahteraan dan pemerataan pembangunan. Akan tetapi rakyat Papua yang sadar akan realitas yang telah mengkonstruksi pengetahuan dan kesadaran akiki menunjukkan sikap kontra dengan tawaran gula-gula pemekaran penguasa pusat yang didorong melalui penguasa lokal. Sekalipun penguasa menawarkan gula-gula pemekaran dengan bahasa demi perwujudan kesejahteraan dan pembangunan yang peruntukan bagi rakyat.
Reputasi rakyat Papua kepada penguasa bukan sekedar pengetahuan yang didoktrinisasi oleh pihak tertentu dalam kurun waktu yang spontan melainkan kesadaran murni yang dikonstruksi realitas implementasi sistem pemerintahan dikerjakan melalui penguasa justru mempraktekkan korupsi, kulusi dan nepotisme sehingga rakyat dijauhkan dari kewajiban negara mensejahterakan rakyat. Atau dimana seperti lazimnya, penguasa memekarkan daerah dengan tujuan kesejahteraan dan pembangunan yang diperuntukkan bagi rakyat. Misalnya dearah kabupaten Nduga, Intan Jaya, Asmat dan lainnya yang kenyataannya jauh dibawah kesejahteraan dan pembangunan yang layak dirasakan rakyat Papua. Maka solusinya pemekaran dibatalkan supaya rakyat Papua tidak merasa dimiskinkan oleh penguasa yang mendapatkan kekuasaan. Melalui kekuasaan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme di dibalik atas nama kesejahteraan dan pemerataan pembangunan.
Penulis adalah Mahasiswa Papua, Aktivis Rakyat (Bekerja selaku Biro Penalaran dan Keilmuan Organisasi Ikatan Mahasiswa Pegunungan Tengah (IMPT) merangkap Organisasi Mahasiswa Koordinator Wilayah Kabupaten Paniai di Manokwari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar