FENOMENA PENGUNGSI SEDIH YANG TAK BIASANYA - AWIPA-MKW

Breaking

Kamis, 18 November 2021

FENOMENA PENGUNGSI SEDIH YANG TAK BIASANYA

Gambar ilustrasi



Marselino W. Pigai

Cerpen, AWIPA-MKW I Sore itu tak seperti biasanya menyaksikan fenomena yang terjadi spontan dalam suasana alam yang berbuana. Entahlah fenomena itu datang dengan tak seharusnya (katakanlah terpaksa). Fenomena yang diciptakan dua manusia yakni antara seorang nenek tua berusia lebih dari 60-an tahun dan seorang anak yang berusia 3-4 tahun, mereka adalah orang asli Papua. 


Tampak penampilan si anak dan nenek menunjukkan mereka bukan warga yang sudah lama tinggal di Nabire. Mereka dua yang berpakaian compang camping, rambut yang berlingkaran tak beraturan dan umumnya berpenampilan kelas tak berpenghasilan dibawah rata-rata standar hidup yang layak.


Si nenek dan anak berjalan mengikuti pros jalan raya depan SMA (aku dan si kawan sepanjang hidup) Negeri 1 Nabire, kabupaten Nabire, provinsi Papua. Tangan si nenek berpegang dua sisir pisang dan bernoken besar yang dipikul kepalanya. Sementara si anak berjalan di depan nenek dengan tangan hampa. Sementara jalan raya itu dilintasi berbagai pengendara motor, mobil, truk dan lainnya termasuk jalan kaki. 


Fenomena itu mereka (anak dan nenek) mengukir sepanjang jalan raya. Sementara sepanjang jalan itu dibangun tokoh, kios, menara bisnis atau bangunan-bangunan bisnis yang berskala lokal, nasional bahkan tak menutup kemungkinan ada juga berskala global. 


Kami memandang fenomena itu dari jarak yang tak jauh. Dalam pikiran itu datang Kalimat sipontan. Sepertinya mereka (anak-dan nenek berpegang pisang) berdua sedang berjalan kaki sembari menjual dua sisir pisang karena tak mempunyai uang cukup menaiki ojek (atau bahkan mungkin memenuhi kebutuhan makanan). 


Fenomena itu bagi kami terharu dan mencekam hati. Susa menguraikan tentang rasa yang datang kala itu. Tak mampu lagi menahan menyapa mereka ( si anak dan nenek). Kami mendekati sembari menyapa dengan nada yang penuh dengan rasa yang berlebihan terharu, sakit dan sedih. Saat kami menyapa, nenek itu menunjukkan pisang dua sisir yang dipegang olehnya. Nenek berpikir kita membeli pisang itu. Dalam sesi itu, singkatnya kami saling sapa dengan penuh rasa yang bermacam.


Di ujung percakapan singkat itu, kami menerima sapaan yang menggugah hati tentunya. Mereka (nenek dan anak itu) menyapa dengan kalimat bahasa yang menunjukkan orang asli Papua dari Intan Jaya, "Amakanie". Dengan kata dan penampilan bahkan sikap bertatap yang penuh gorogi, takut, dan lainnya menyapa jiwa dan menerjemahkan dengan bahasaku. "Mereka dua adalah dua orang dari sejumlah ribuan warga Intan Jaya yang mengungsi. Akibat Intan jaya yang kini mereka (Militer gabungan polisi dan TPN OMP) sedang berkonflik akibatnya dampak eksplorasi blok Wabu.


Dalam perhitungan satu, dua dan tiga hari senja pun berubah aluan. Hati tak mampu membendung rasa sakit berlapis pilu menjelaskan, memandang fenomena itu. Kami hanya saling bercerita sembari mata tak bisa menahan mengalir derai air yang penuh duri. Aku yakin mereka adalah warga yang mengungsi dari intan jaya akibat wilayah rencana operasi blok Wabu oleh PT. Aneka Tambang. Menjelang beberapa menit kemudian, dalam hati yang pilu dan sakit datanglah kalimat sipontan terlintas di benak; "akibat kekayaan yang Tuhan ciptakan manusianya terlantar di mana-mana".


Kesan fenomena yang datang kala itu. Kesan yang datang dalam imajinasi pikiran. Andaikata tiada perang Ataupun ada perang tapi tidak menggangu dengan warga sipil di Intan Jaya, sesungguhnya mereka (nenek dan anak) dua tidak menghadapi dan menciptakan fenomena ini. Atau mungkin Tuhan tidak menciptakan kekayaan alam emas, tidak akan menarik berbagai penguas bisnis dan politik dalam konteks penjajahan kolonial ataupun ideologi kapitalisme, imperialisme yang membuahkan pengungsian.


Lebih menyedihkan dari fenomena itu adalah pesta natal yang akan warga Intan Jaya (pasti termasuk Nduga, Peg. Bintang, Maybrat dan lainnya) umumnya dan mereka berdua (si anak dan nenek itu) menerima Putra Natal Yesus Kristus di jalanan, hutan belantara dengan keadaan hati yang sakit, tangis, darah yang lahir dari berbagai kekerasan yang tak kunjung usai di Intan Jaya.


Tanah Jajahan Indonesia, 18 November 2021

Tidak ada komentar: